Matius 9:9-13
Setelah Yesus pergi dari situ, Ia melihat seorang yang bernama Matius duduk di rumah cukai, lalu Ia berkata kepadanya: “Ikutlah Aku.” Maka berdirilah Matius lalu mengikut Dia. Kemudian ketika Yesus makan di rumah Matius, datanglah banyak pemungut cukai dan orang berdosa dan makan bersama-sama dengan Dia dan murid-murid-Nya. Pada waktu orang Farisi melihat hal itu, berkatalah mereka kepada murid-murid Yesus: “Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” Yesus mendengarnya dan berkata: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.”
***
Di gereja paroki tempat saya tinggal, ada seorang ibu yang ikut misa pagi setiap hari dengan pakaian kumal dan membawa beberapa tas berisi barang-barang bekas yang sangat banyak. Kami tidak tahu di mana rumahnya, tetapi beberapa orang sering melihatnya berada di emperan-emperan toko atau berjalan ke sana kemari. Kalau diajak bicara kadang-kadang bisa nyambung, tetapi kadang-kadang pula tidak. Beberapa umat saya lihat memberi uang kepadanya, dan suster-suster juga biasanya memberi dia sarapan. Saya yakin, orang-orang itu peduli karena belas kasihan Allah ada dalam diri mereka. Mereka melihat setiap orang dalam keadaan apa pun sebagai citra Allah.
Yesus memanggil seorang pemungut cukai bernama Matius. Bagi orang Yahudi, pemungut cukai bukan hanya pendosa, melainkan juga pengkhianat bangsa karena bekerja untuk penjajah Romawi dan kerap memeras rakyat. Namun Yesus, berkata kepada Matius, “Ikutlah Aku.” Tanpa ragu, Matius bangkit dan mengikuti-Nya.
Perjumpaan itu mengguncang cara berpikir masyarakat. Ketika Yesus makan bersama dengan para pemungut cukai dan orang berdosa, orang Farisi yang adalah kaum yang menaati hukum agama, mulai mencibir. Bagi mereka, seorang tokoh agama haruslah menjaga jarak dari orang-orang semacam itu. Namun, Yesus menjawab mereka dengan tajam sekaligus penuh kasih, “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit … Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan.” Yesus menegaskan bahwa relasi dengan sesama tidak boleh ditentukan oleh status, kesalehan, atau masa lalu, tetapi oleh belas kasihan yang sejati.
Yesus datang bukan untuk memuji orang-orang yang merasa dirinya benar, melainkan untuk mencari, menyentuh, dan memulihkan mereka yang hilang, tersesat, dan terluka. Sikap Yesus itu bukan sekadar simpati, melainkan aksi belas kasihan yang nyata. Ia menjumpai Matius dan makan bersama dengan para pendosa tanpa takut dikritik, sebab cinta-Nya lebih besar dari batas-batas sosial dan religius yang kaku.
Dalam hidup sehari-hari, tidak jarang kita bersikap seperti orang Farisi. Kita mudah menilai, menolak, dan menjauh dari mereka yang kita anggap buruk, yang berbeda keyakinan, gaya hidup, dan status sosial, atau yang kita anggap berdosa. Namun, Yesus mengajak kita untuk selalu bertanya ketika bertemu sesama yang demikian: Apakah saya sudah menjadi wajah belas kasihan Tuhan? Belas kasihan Tuhan adalah belas kasihan yang menjangkau. Ia tidak menunggu orang berubah dahulu untuk dikasihi. Ia mengasihi terlebih dahulu, dan melalui kasih itulah terjadi perubahan.
Sebagai pengikut Kristus yang sejati, kita dipanggil untuk menghidupi belas kasihan itu. Saat bertemu orang berdoa, hendaknya kita merangkul dan tidak menghakimi. Saat melihat kemiskinan, hendaknya kita bertindak untuk menolong. Saat melihat orang terluka atau terbuang, hendaknya kita hadir, mendengarkan, dan memberi harapan. Yesus berkata, “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan.” Ritual keagamaan yang megah tidak berarti apa-apa jika hati kita keras terhadap sesama. Tuhan tidak tertarik pada tampilan luar, tetapi pada isi hati yang peduli, yang peka, dan yang rela menjadi jawaban atas penderitaan orang lain.
Kita tidak bisa mengubah dunia dalam sekejap, tetapi kita bisa mengubah dunia seseorang melalui satu tindakan kasih, satu sikap peduli, dan satu langkah yang penuh belas kasihan. Marilah kita menjadi wajah belas kasihan Kristus bagi dunia dan sesama, sebab dalam sesama, kita menemukan wajah-Nya. Belas kasihan sejati yang berasal dari Kristus harus mengatasi segalanya.