Yohanes 8:31-42
Maka kata-Nya kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya: “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Jawab mereka: “Kami adalah keturunan Abraham dan tidak pernah menjadi hamba siapa pun. Bagaimana Engkau dapat berkata: Kamu akan merdeka?” Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa. Dan hamba tidak tetap tinggal dalam rumah, tetapi anak tetap tinggal dalam rumah. Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamu pun benar-benar merdeka.” “Aku tahu, bahwa kamu adalah keturunan Abraham, tetapi kamu berusaha untuk membunuh Aku karena firman-Ku tidak beroleh tempat di dalam kamu. Apa yang Kulihat pada Bapa, itulah yang Kukatakan, dan demikian juga kamu perbuat tentang apa yang kamu dengar dari bapamu.”
Jawab mereka kepada-Nya: “Bapa kami ialah Abraham.” Kata Yesus kepada mereka: “Jikalau sekiranya kamu anak-anak Abraham, tentulah kamu mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham. Tetapi yang kamu kerjakan ialah berusaha membunuh Aku; Aku, seorang yang mengatakan kebenaran kepadamu, yaitu kebenaran yang Kudengar dari Allah; pekerjaan yang demikian tidak dikerjakan oleh Abraham. Kamu mengerjakan pekerjaan bapamu sendiri.” Jawab mereka: “Kami tidak dilahirkan dari zina. Bapa kami satu, yaitu Allah.” Kata Yesus kepada mereka: “Jikalau Allah adalah Bapamu, kamu akan mengasihi Aku, sebab Aku keluar dan datang dari Allah. Dan Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, melainkan Dialah yang mengutus Aku.”
***
Beberapa bulan lalu, saya bertemu dengan seorang teman yang dahulu sangat aktif dalam pelayanan dan komunitas di Gereja. Ketika kami bertemu, dia bercerita bahwa saat ini semua pelayanan itu telah ia tinggalkan. Ia kecewa ketika melihat dan merasakan suatu ketidakbenaran dalam pelayanan tersebut. Pelayanan terlihat layaknya seperti panggung sandiwara. Arti murni dari pelayanan itu sudah berubah. Karena itu, semangat pelayanannya yang berkobar-kobar terhadap Tuhan dan sesama menjadi pupus.
Untungnya, teman saya ini tidak jatuh dalam predikat “hamba dosa”. Ia percaya bahwa Tuhan punya maksud atas apa yang dialaminya, sehingga ia tidak meninggalkan doa dan Ekaristi. Mungkin Tuhan ingin agar ia menjauhkan diri dari hal-hal yang kurang baik dan kurang berkenan di hadapan-Nya, seperti keserakahan, iri hati, dengki, dan hawa nafsu.
Dalam Masa Prapaskah ini, Tuhan menawarkan pertobatan kepada umat-Nya untuk melepaskan diri dari hamba dosa. Semoga dengan berpantang dan berpuasa, kita terbantu untuk merefleksikan diri dan menghindari hal-hal yang akan membawa kepada hamba dosa, serta lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Tidak mudah untuk mengetahui dosa atau kesalahan diri sendiri bila kita tidak belajar untuk mengakui dan merendahkan diri di hadapan Tuhan. Kita terkadang berusaha mencari berbagai alasan untuk membenarkan diri sendiri. Sudah siapkah kita untuk melepaskan diri dari hamba dosa, dan merdeka bersama Dia?