Matius 13:1-9
Pada hari itu keluarlah Yesus dari rumah itu dan duduk di tepi danau. Maka datanglah orang banyak berbondong-bondong lalu mengerumuni Dia, sehingga Ia naik ke perahu dan duduk di situ, sedangkan orang banyak semuanya berdiri di pantai. Dan Ia mengucapkan banyak hal dalam perumpamaan kepada mereka. Kata-Nya: “Adalah seorang penabur keluar untuk menabur. Pada waktu ia menabur, sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung dan memakannya sampai habis. Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, yang tidak banyak tanahnya, lalu benih itu pun segera tumbuh, karena tanahnya tipis. Tetapi sesudah matahari terbit, layulah ia dan menjadi kering karena tidak berakar. Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, lalu makin besarlah semak itu dan menghimpitnya sampai mati. Dan sebagian jatuh di tanah yang baik lalu berbuah: ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat. Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!”
***
Seorang teman mengatakan kepada saya tentang kekagumannya akan kesuburan tanah di Indonesia. Dia pernah tinggal di daerah yang tandus, yang sulit untuk ditanami. “Di sini biji yang dibuang tanpa sengaja di pinggir jalan bisa tumbuh,” katanya. Kalau kita pernah berziarah ke Israel, kita akan melihat perbedaan antara wilayah perbatasan Mesir yang kering nan tandus dan wilayah Israel yang hijau nan subur. Tinggal di tanah yang subur sangat menyegarkan. Kualitas tanah menjamin pertumbuhan tanaman, dan menciptakan lingkungan yang asri serta menyenangkan untuk ditinggali. Sejalan dengan itu, pertumbuhan kebaikan hati manusia juga tergantung pada kualitas “tanah” atau kepribadian seseorang.
Yesus hari ini menggunakan perumpamaan tentang benih yang ditaburkan di atas pelbagai jenis tanah untuk menjelaskan sikap-sikap manusia terhadap sabda Allah. Sabda Allah itu seperti benih yang ditaburkan dalam diri manusia. Pertumbuhan sabda Allah tergantung pada kualitas diri orang-orang yang menerima sabda tersebut.
Ada yang memiliki kualitas diri seperti pinggiran jalan yang tidak bertanah. Mereka tertutup terhadap sabda Allah. Sabda itu hanya didengarkan sambil lalu, tidak diterima, sehingga hilang begitu saja. Yang lain diumpamakan seperti tanah berbatu-batu. Sabda Allah cepat layu dan mati dalam dirinya, tidak mendarah daging, tidak dicerna dan dihidupi dengan baik. Ketika tantangan datang, sabda itu hilang, tidak bertumbuh, apalagi berbuah dalam tindakan baik. Yang lain lagi diumpamakan seperti tanah yang bersemak duri. Sabda Allah dalam dirinya kalah oleh kekhawatiran dan tawaran-tawaran duniawi yang menggiurkan, sehingga tidak bertumbuh dalam tindakan kasih kepada Tuhan, sesama, dan diri sendiri.
Benih sabda Allah jika jatuh di tanah yang subur akan bertumbuh dan menghasilkan buah. Orang yang terbuka menerima sabda Allah dan merawatnya dengan baik akan berbuah kebaikan dan sukacita bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Yesus percaya bahwa ada orang yang punya tipe seperti tanah yang baik, yang mampu mendengarkan dan melaksanakan kehendak Allah. Mereka itu adalah murid-murid-Nya. Murid-murid Yesus harus punya kemampuan untuk mendengarkan: Mendengarkan kehendak Allah dan mendengarkan suara Roh Kudus yang menuntun pada kedekatan dengan Allah.
Tuhan menciptakan manusia baik adanya, sehingga pada dasarnya, kita adalah jenis tanah yang baik. Namun, perjalanan hidup sering membuat kita terkontaminasi oleh dosa, sehingga menghambat kemampuan kita dalam mendengarkan sabda Allah dan menjadi pelaksana firman-Nya. Tanah yang dahulu baik itu perlu dirawat lagi dengan pertobatan terus-menerus, juga dengan praktik-praktik hidup rohani yang mendalam, seperti doa, mati raga, dan amal kasih. Mari kita merawat diri dan hati kita agar mampu menjadi tanah yang baik demi pertumbuhan sabda Allah dalam hidup kita. Dengan begitu, orang yang berjumpa dengan kita akan merasa sejuk, damai, dan penuh sukacita.