Markus 10:1-12
Dari situ Yesus berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah seberang Sungai Yordan dan di situ pun orang banyak datang mengerumuni Dia; dan seperti biasa Ia mengajar mereka pula. Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya?” Tetapi jawab-Nya kepada mereka: “Apa perintah Musa kepada kamu?” Jawab mereka: “Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.” Lalu kata Yesus kepada mereka: “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. Lalu kata-Nya kepada mereka: “Barangsiapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinaan terhadap istrinya itu. Dan jika si istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zina.”
***
Sebagai manusia, terkadang kita merasa seakan menjadi Tuhan saat kita bisa melakukan apa pun. Kita bahkan menjadi pribadi yang merasa lebih dari Tuhan. Itulah puncak dari kebebasan yang berlandaskan pada keangkuhan kemanusiaan kita.
Hari ini, kita diingatkan kembali oleh Yesus tentang hakikat kita sebagai manusia. Dalam bacaan Injil yang berbicara tentang hidup perkawinan, orang digambarkan menggunakan segala cara agar bisa bercerai atau berpisah. Yesus mengatakan bahwa itu terjadi karena kedegilan kita.
Pada dasarnya, Yesus tidak setuju dengan perceraian. Ia menginginkan sebuah komitmen. Solusi dari ketidakcocokan bukanlah perpisahan, melainkan pengampunan. Itulah jalan yang wajib kita cari, yakni jalan pengampunan. Memang ini berat dan sulit, namun jalan inilah yang menjadikan kita selamat dan semakin ilahi.
Kita sebagai manusia sering kali lupa bahwa kita tidak hanya bersifat manusiawi, tetapi juga merupakan pribadi ilahi. Kita selalu condong untuk melihat kemanusiaan kita semata dan mengebiri keilahian kita supaya memuaskan kemanusiaan itu. Keilahian didapat dengan jalan seperti yang ditempuh Yesus, yakni dengan pengorbanan, komitmen, kemurahan hati, dan kasih.
Marilah hari ini kita mengingat kembali hakikat kita sebagai manusia, di mana kita juga adalah pribadi ilahi. Kita tidak hanya dipanggil untuk memenuhi hasrat dan kehendak kemanusiaan kita semata. Kita juga dipanggil kepada hal yang lebih luhur, yaitu kepada keilahian. Menjadi ilahi berarti mengikuti jejak Kristus di dalam hidup kita.