STAGNASI IMAN Lukas 7: 31-35 Juli 17, 2024
Kata Yesus, “Dengan apakah akan Kuumpamakan orang-orang zaman ini…kami meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak menangis.” (Luk. 7:31-32)
Kata “stagnasi” berarti keadaan terhenti (tidak bergerak, tidak aktif, tidak jalan); tidak maju atau mundur, hidup yang lesu dan monoton. Stagnasi juga berarti tidak adanya kemajuan menuju tingkat pemahaman baru yang mendorong terjadinya perubahan dalam wawasan berpikir dan beraktifitas yang semakin bermakna bagi kehidupan bersama. Lalu, bagaimana dengan stagnasi iman?
Stagnasi iman terjadi dalam diri orang-orang Farisi dan ahli- ahli Taurat yang berdialog dengan Yesus. Meskipun mereka tekun mempelajari Taurat dan mendengarkan pengajaran Yohanes Pembaptis dan diri-Nya, tetapi mereka tidak mempunyai kemajuan dalam memahami Yesus dan tujuan pengajaran-Nya. Bagi Yesus, mereka bagaikan anak-anak yang bersikap masa bodoh, tetapi pada sisi yang lain hati mereka beku membatu, selalu berpegang pada keyakinannya yang dianggap paling benar dan merendahkan orang lain serta selalu menyalahkan-Nya. Stagnasi hidup beriman inilah yang membuat mereka menolak segala sesuatu yang baru dan memandangnya sebagai sebuah ancaman bagi diri mereka. Stagnasi iman “membutakan” seseorang sehingga ia beranggapan bahwa hanya dirinyalah yang paling benar.
Stagnasi iman juga bisa terjadi dalam diri kita. Mari kita terus mengoreksi pemahaman kita akan Tuhan dan kehendak-Nya dalam hidup kita. Mari bersikap terbuka pada wawasan baru yang akan menyempurnakan hidup beriman kita di hadapan Tuhan dan sesama. [Pdt. Jotje Hanri Karuh]
REFLEKSI:
Keterbukaan diri untuk menerima hal baru yang membarui kehidupan kita menandakan kita tidak berada dalam stagnasi iman.
Ayat Pendukung: 2 Sam. 6:16-23; Mzm. 68:24-35; Luk. 7:31-35
Bahan: Wasiat, renungan keluarga.
Sumber: https://gkipi.org/stagnasi-iman/